UNODC memperluas perlawanan terhadap pembalakan liar dan korupsi ke Kalimantan
Palangkaraya (Indonesia), 1 November 2011 - Tim penilaian UNODC mengunjungi provinsi Kalimantan Tengah sebagai langkah awal untuk mencegah pembalakan liar dan korupsi di provinsi terbesar ketiga di negara itu.
Menurut perkiraan Departemen Kehutanan, Indonesia kehilangan 1,6-2,8 juta hektar per tahun (atau sama dengan kehilangan hutan seukuran lapangan sepak bola setiap 4-7 menit) akibat pembalakan lia dan konversi lahan karena kurangnya manajemen yang efektif dan penegakan hukum. Ini adalah kontribusi besar untuk emisi gas rumah kaca yang mempengaruhi perubahan iklim global.
Berawal di Provinsi Papua, proyek UNODC "Melawan Pembalakan Ilegal dan hubungan antara kejahatan hutan dan korupsi di Indonesia" yan berdurasi tiga tahun ini bertujuan untuk mengatasi pembalakan liar dan perdagangan gelap hasil hutan di Indonesia dengan memperkuat penegakkan hukum dan kapasitas anti korupsi.
Berdasarkan permintaan Pemerintah Indonesia, proyek ini akan diimplementasikan di Kalimantan Tengah. Langkah pertama yang dilakukan adalah untuk memperkenalkan UNODC kepada organisasi layanan masyarakat setempat, lembaga swadaya masyarakat, jaksa, polisi, petugas kehutanan tingkat provinsi, dan petugas Balai Konservasi Sumber Daya Alam, serta melakukan penilaian kebutuhan pelatihan untuk melawan pembalakan liar dan praktik korupsi di sektor kehutanan.
Sebagai provinsi terbesar ketiga di Indonesia, Kalimantan Tengah tidak asing lagi dengan degradasi lingkungan. Krisis keuangan pada tahun 1997 dan memburuknya kondisi sosial, lingkungan, dan ekonomi pada tahun 2002 memberikan kesempatan untuk korupsi. Lahan gambut sebagai sumber karbon di Kalimantan dibebaskan dan dibakar untuk memudahkan masuknya perkebunan kelapa sawit dan perusahaan kertas. Pembakaran ini menciptakan kabut asap yang mempengaruhi negara-negara tetangga dan melepaskan sejumlah besar gas rumah kaca ke lapisan atmosfer.
Tim penilai dari UNODC dipandu menyusuri daerah gundul yang dahulu pernah subur di Taman Nasional Sebangau oleh Bapak Dadang Riansyah, seorang petugas pemberdayaan masyarakat yang lahir dan besar di Kalimantan Tengah. Ia percaya bahwa kejahatan hutan dan pembalakan liar adalah masalah kultural, sosial dan politik.
"Besar di daerah ini, saya merasa bahwa penegak hukum terkesan memperbolehkan pembalakan liar - bahkan terkadang mereka bertindak sebagai mandor," jelasnya.
"Regulasi perkebunan yang sekarang berlaku menyebabkan praktik korupsi," ia berpendapat, menjelaskan bahwa sementara beberapa kabupaten memiliki peraturan lokal yang cukup baik, selalu ada masalah dengan pelaksana yang tidak kompeten - petugas yang mengeluarkan izin perambahan, polisi, jaksa, dan bahkan lembaga swadaya masyarakat lokal.
Perusahaan perkebunan kelapa sawit yang besar, menurut Bapak Dadang, pernah memaksakan kontrak pada penduduk desa dengan uang ganti rugi hanya 50.000 rupiah per hektar tanah dan menutup akses masyarakat ke sungai, sumber nafkah dan koneksi mereka ke dunia luar.
Proyek ini bertujuan untuk memperkuat Satuan Polisi Kehutanan Reaksi Cepat (SPORC), meningkatkan kapasitas jaksa dan hakim, dan dukungan bagi masyarakat sipil untuk menanggapi masalah pembalakan liar dan korupsi. Proyek ini juga bertujuan untuk melawan lingkungan yang memungkinkan terjadinya praktik korupsi melalui pembalakan ilegal di Indonesia dengan memperkuat kapasitas anti-korupsi pada lembaga-lembaga negara dan para pejabat hukum untuk menyelidiki, mengadili dan memutus kasus korupsi terkait dengan kejahatan kehutanan. Penggunaan rezim anti pencucian uang untuk mentarget gembong di balik kejahatan hutan adalah tujuan utama proyek ini.
"Masyarakat menginginkan seseorang di sisi mereka dan mereka ingin penghidupan yang berkelanjutan. Harapan saya adalah kebada pemerintah. Agar mereka menegakkan supremasi hukum dan memberikan keadilan kepada manajemen sumber daya alam. Mereka harus bersedia untuk berkolaborasi melibatkan masyarakat, sektor swasta dan bantuan internasional dengan efisien, "katanya.
Proyek ini didanai oleh Pemerintah Kerajaan Norwegia dan didukung oleh Kementerian Kehutanan, Komisi Pemberantasan Korupsi, Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan Agung dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan.